Adalah suku Cham yang
menjunjung kerajaan Champa ke tudung kejayaan Islam. Ketika itu, dinasti
Zong berkuasa di daratan Tiongkok (960-1280M). Tatkala Kertanagara mengobarkan
ambisinya melipat nusantara hingga semenanjung Malaya, Champa tunduk dalam
kehormatan di hadapan barisan penjelajah pimpinan Jalasenapati Mahisa Anabrang.
Begitu kekuatan Singhasari pulang kandang, Champa meradang berjuang menyongsong
serbuan salah satu kekuatan besar
dari tlatah Siam bernama Sukhotai. Di kemudian hari,
Gajahmada tidak mau kalah dengan pendahulunya, mengibarkan panji gula kelapa di
tanah Champa. Seabad kemudian, suku Cham terpaksa menembus tepi barat, berdiam
di dekat teluk Siam, lantaran negerinya diludeskan Annam (Vietnam) pada tahun 1470M.
* * *
Di Annam ujung selatan,
terdapat sebuah negeri bernama Champa yang seluruh rakyatnya memeluk Islam.
Negeri pesisir ini menghampar mulai dari tenggara gunung Cu Yang Sin, bergerak
ke baratdaya menyentuh teluk Siam, berbatasan langsung dengan Kampuchea di
bagian barat yang dari sana mengalir Sungai Giong —terusan sungai Mekong dari
dataran tinggi Tiongkok— menuju laut Champa. Sebagai daerah pesisir, Champa
juga memiliki pelabuhan, tempat singgah para pedagang atau pelaut yang keluar
dari selat Malaya menuju Tiongkok.
Semenjak abad kesembilan, jalur
perdagangan laut dunia menusuk selat Malaya, mendenyutkan ujung barat
Swarnadwipa dan daerah di semenanjung Malaya. Para saudagar Islam dari Arabia,
Persia, Andalusia, juga Gujarat, hampir sepenuhnya menggenggam jalur
perdagangan di Malaya yang kelak berperan besar menjayakan kerajaan Islam
Samudera Pasai pada masa pemerintahan Paduka Marah Silu. Selepas menembus selat
Malaya, sebagian langsung menikung ke utara, menyinggahi pelabuhan Champa,
sebagian lainnya menuju timur, menyentuh pesisir Tanjungnagara, Berune,
kepulauan Sulu, lalu menuju Tiongkok.
Pada waktu itu, di tlatah Siam
berkembang beberapa negeri kecil yang masingmasing berdiri sendiri. Siam
hanyalah sekumpulan kerajaan kecil yang hidup bertetangga tanpa memiliki sebuah
pusat kekuasaan atau kotaraja —tidak seperti Majapahit yang meski dikitari
beberapa negeri bawahan, tetapi memiliki pusat di Trowulan. Sebagaimana Champa,
di wilayah Siam bagian selatan, berbatasan dengan tlatah utara semenanjung
Malaya, ketika itu juga tumbuh beberapa negeri Islam seperti Satun, Yala,
Narathiwat, dan yang terbesar, Patani.
Tahun Saka 1197, Kertanagara
berkehendak sepenjuru tanah Malaya tunduk gemetar di bawah panjipanji
Singhasari. Maka berangkatlah armada penjelajah pimpinan Jalasenapati Mahisa
Anabrang menggembirakan sang raja. Hampir duapuluh tahun kekuatan Singhasari
merajalela, menancapkan panjipanji kemenangan di sepenjuru tanah Melayu,
Tumasik, Kotabatu, Kedah, Patani, menyapu daerah di sekitar teluk Siam,
termasuk Champa.
Tetapi, begitu armada
Singhasari pulang ke Jawadwipa, beberapa negeri di tlatah Siam berlomba
menjotos negerinegeri taklukan
Singhasari. Yang paling bergelora adalah Raja Ramakhamhaeng dari Sukhotai,
kerajaan Buda di Siam bagian tengah. Sukhotai menggempur Patani dan Champa, dua
kerajaan yang berbeda haluan.
Hingga suatu ketika, lantaran
tersudut, beberapa kesatria Champa
berlayar ke Jawadwipa mengharap bantuan, sebab
bagaimanapun juga, kerajaan Champa merupakan bawahan Singhasari. Tetapi mereka
kecele, karena Singhasari sudah ludes. Para utusan dari Champa yang tidak
bertemu Kertanagara, pada ujungnya berharap pada kekuatan Sangramawijaya.
Hingga kemudian Majapahit pun mengirimkan armada lautnya, memukul Sukhotai.
Semenjak itu, Champa mulai
mengenal Wilwatikta.
Sewindu silam, Ratu Putih,
salah seorang putri dari Champa, menjadi selir kinasih mendiang Baginda Prabu
Wijaya Parakramawardhana.
Sabrang Anatar tau bahwa keponakan Ratu Putih, kini
menjadi tokoh muda andalan Wilwatikta, penghubung antara pihak keraton dengan
pihak asing seperti Tiongkok, Gujarat, dan Arabia. Kesulitan bahasa antara
pihak keraton dengan pihak asing, membikin peran Senopati Ketimaha seolah tak
tergantikan. Ia juga sudah dua tahun mengasuh sang putra mahkota Baginda
Samarawijaya atas titah mendiang Baginda Prabu Rajasawardhana.