Sabtu, 02 Juni 2012

Champa

 

Adalah suku Cham yang  menjunjung kerajaan Champa ke tudung kejayaan Islam. Ketika itu, dinasti Zong berkuasa di daratan Tiongkok (960-1280M). Tatkala Kertanagara mengobarkan ambisinya melipat nusantara hingga semenanjung Malaya, Champa tunduk dalam kehormatan di hadapan barisan penjelajah pimpinan Jalasenapati Mahisa Anabrang. Begitu kekuatan Singhasari pulang kandang, Champa meradang berjuang menyongsong serbuan salah satu kekuatan besar  dari  tlatah  Siam bernama Sukhotai. Di kemudian hari, Gajahmada tidak mau kalah dengan pendahulunya, mengibarkan panji gula kelapa di tanah Champa. Seabad kemudian, suku Cham terpaksa menembus tepi barat, berdiam di dekat teluk Siam, lantaran negerinya diludeskan  Annam (Vietnam) pada tahun 1470M.

*     *     *

Di Annam ujung selatan, terdapat sebuah negeri bernama Champa yang seluruh rakyatnya memeluk Islam. Negeri pesisir ini menghampar mulai dari tenggara gunung Cu Yang Sin, bergerak ke baratdaya menyentuh teluk Siam, berbatasan langsung dengan Kampuchea di bagian barat yang dari sana mengalir Sungai Giong —terusan sungai Mekong dari dataran tinggi Tiongkok— menuju laut Champa. Sebagai daerah pesisir, Champa juga memiliki pelabuhan, tempat singgah para pedagang atau pelaut yang keluar dari selat Malaya menuju Tiongkok.
Semenjak abad kesembilan, jalur perdagangan laut dunia menusuk selat Malaya, mendenyutkan ujung barat Swarnadwipa dan daerah di semenanjung Malaya. Para saudagar Islam dari Arabia, Persia, Andalusia, juga Gujarat, hampir sepenuhnya menggenggam jalur perdagangan di Malaya yang kelak berperan besar menjayakan kerajaan Islam Samudera Pasai pada masa pemerintahan Paduka Marah Silu. Selepas menembus selat Malaya, sebagian langsung menikung ke utara, menyinggahi pelabuhan Champa, sebagian lainnya menuju timur, menyentuh pesisir Tanjungnagara, Berune, kepulauan Sulu, lalu menuju Tiongkok.
Pada waktu itu, di tlatah Siam berkembang beberapa negeri kecil yang masingmasing berdiri sendiri. Siam hanyalah sekumpulan kerajaan kecil yang hidup bertetangga tanpa memiliki sebuah pusat kekuasaan atau kotaraja —tidak seperti Majapahit yang meski dikitari beberapa negeri bawahan, tetapi memiliki pusat di Trowulan. Sebagaimana Champa, di wilayah Siam bagian selatan, berbatasan dengan tlatah utara semenanjung Malaya, ketika itu juga tumbuh beberapa negeri Islam seperti Satun, Yala, Narathiwat, dan yang terbesar, Patani.
Tahun Saka 1197, Kertanagara berkehendak sepenjuru tanah Malaya tunduk gemetar di bawah panjipanji Singhasari. Maka berangkatlah armada penjelajah pimpinan Jalasenapati Mahisa Anabrang menggembirakan sang raja. Hampir duapuluh tahun kekuatan Singhasari merajalela, menancapkan panjipanji kemenangan di sepenjuru tanah Melayu, Tumasik, Kotabatu, Kedah, Patani, menyapu daerah di sekitar teluk Siam, termasuk Champa.
Tetapi, begitu armada Singhasari pulang ke Jawadwipa, beberapa negeri di tlatah Siam berlomba menjotos  negerinegeri taklukan Singhasari. Yang paling bergelora adalah Raja Ramakhamhaeng dari Sukhotai, kerajaan Buda di Siam bagian tengah. Sukhotai menggempur Patani dan Champa, dua kerajaan yang berbeda haluan.
Hingga suatu ketika, lantaran tersudut, beberapa kesatria Champa nnah  ketika, bng Malayagik, Kedah, Patani, terus menembus Siam, dan tidak ketinggalan negeri Champa. Boleh dibilang, ngg berlayar ke Jawadwipa mengharap bantuan, sebab bagaimanapun juga, kerajaan Champa merupakan bawahan Singhasari. Tetapi mereka kecele, karena Singhasari sudah ludes. Para utusan dari Champa yang tidak bertemu Kertanagara, pada ujungnya berharap pada kekuatan Sangramawijaya. Hingga kemudian Majapahit pun mengirimkan armada lautnya, memukul Sukhotai.
Semenjak itu, Champa mulai mengenal Wilwatikta.
Sewindu silam, Ratu Putih, salah seorang putri dari Champa, menjadi selir kinasih mendiang Baginda Prabu Wijaya Parakramawardhana.
Sabrang Anatar tau bahwa keponakan Ratu Putih, kini menjadi tokoh muda andalan Wilwatikta, penghubung antara pihak keraton dengan pihak asing seperti Tiongkok, Gujarat, dan Arabia. Kesulitan bahasa antara pihak keraton dengan pihak asing, membikin peran Senopati Ketimaha seolah tak tergantikan. Ia juga sudah dua tahun mengasuh sang putra mahkota Baginda Samarawijaya atas titah mendiang Baginda Prabu Rajasawardhana.


Jumat, 01 Juni 2012

Rahasia

“BAGAIMANA?”

“Berjalan kearah tepat. Senopati Ketimaha, Senopati Mahisa Anogara dan Walang Watara dijebloskan ke penjara.”

“Bagus.”

Bhayangkara Sitalaras juga dijebloskan.”

“Itu sangat bagus.”

“Kita tinggal menunggu dua sisanya.”

“Bagus.”

Mahapatih Anuda Paksi

MALAM berdenyut. Di baratlaut, bulan sabit begitu indah, melengkung di bawah lonjongan kelabu. Mahapatih Anuda Paksi tidak sanggup menikmati kemegahan langit malam ini. Raut wajah pecah. Batin pecah. Kepala bagai diaduk tangantangan gaib.Semenjak Mahapatih mengendalikan sepenuhnya roda pemerintahan Wilwatikta, beragam masalah menyerbu dari berbagai arah tanpa putus, seolah istana sedang mengalami musim panen masalah.


Sabrang Anatar

KEGADUHAN menjeblag regol barat istananegara. Sembilan perwira berancangancang menggeropyok sosok berwajah tembaga.

Cintanya bercokol kukuh

bertumbuh bagai benih murni

di tanah terberkati

akarnya kencang menggali sunyi

mengisap saripati

daunnya binar menatap sinar

berkembang mengundang kumbang

berbuah pating gemandul

menggirangkan jiwajiwa masgul

Isi kepala Tumenggung Kawikaca bagai diaduk. Dadanya serasa ditumbuk kaki kuda. Jejari tangannya geregetan.

“Kalian menerima cinta tetapi enggan mengembangkannya. Bagaimana mau melimpahkannya?”

SRET!

SRING!

Kemarahan terhunus. Tumenggung Kawikaca belum juga mengangkat tanda. Bagaimana ini?